Kehidupan manusia tidak jauh dari adanya tantangan, kesulitan dan cobaan-cobaan hidup yang harus dihadapi. Tantangan dan cobaan tersebut dapat berupa kesulitan-kesulitan sehari-hari, peristiwa yang tidak terduga maupun peristiwa traumatis. Beberapa individu mengalami dampak yang negatif atas tantangan yang harus dihadapinya. Namun ada juga individu yang berhasil mengatasi tantangan tersebut, merubahnya menjadi energi positif dan tetap menjalankan kehidupannya dengan sehat dan berkualitas.
Resiliensi dibutuhkan oleh seseorang agar dapat bertahan dalam menghadapi cobaan serta untuk mempertahankan kehidupan yang baik dan seimbang. Resiliensi merupakan kemampuan seseorang untuk bangkit, dan menghadapi kesulitan-kesulitan hidup, sehingga menghasilkan kemampuan penyesuaian diri dan outcome yang positif.
Individu yang resilien adalah individu yang tidak memunculkan simtom patologis pada situasi-situasi yang cenderung negatif, mengancam dan dapat mengatasi kejadian negatif tersebut untuk hidup secara berkualitas. Secara lebih spesifik, ciri-ciri individu yang memiliki kemampuan resiliensi adalah:
1. Dapat mengatasi perubahan-perubahan dalam hidup.
2. Dapat mempertahankan kesehatan dan energi yang baik ketika berada dalam tekanan.
3. Dapat bangkit dari keterpurukan.
4. Dapat mengatasi kesulitan-kesulitan hidup.
5. Merubah cara berpikir dan cara mengatasi masalah ketika cara yang lama tidak berhasil.
6. Dapat melakukan hal-hal diatas tanpa melakukan tindakan yang tidak sesuai (berbahaya) atau disfungsi.
Individu yang memiliki kemampuan resiliensi memiliki kekuatan-kekuatan dari dalam diri untuk melawan tekanan dan kesulitan dalam hidup. Mereka mampu mengatasi dan tidak berlarut-larut dalam kondisi stres. Individu yang memiliki kemampuan resiliensi adalah individu yang memiliki kekuatan dan ketrampilan yang dapat membuat mereka mampu merespon dengan baik tantangan yang ada dan tumbuh berkembang melalui pengalaman-pengalaman tersebut.
Menurut Siebert (2005), terdapat 7 kemampuan yang harus dimiliki seseorang agar menjadi resilien, yaitu:
1. Regulasi emosi
Regulasi emosi merupakan kemampuan seseorang untuk tetap berlaku tenang dalam keadaan yang tertekan. Individu yang resilien, memiliki kemampuan untuk mengkontrol emosi, tingkah laku dan atensi dalam menghadapi masalah. Sebaliknya individu yang memiliki kesulitan dalam regulasi emosi sulit untuk beradaptasi, menjalin relasi dengan orang lain dan mempertahankan hubungan yang telah terjalin dengan orang lain. Individu harus dapat mengekspresikan emosinya dengan wajar dan tepat serta tidak berlarut-larut.
Individu yang memiliki kesulitan untuk meregulasi emosi cenderung untuk terjebak dalam emosinya dan pada akhirnya sulit untuk membuat keputusan dengan tepat, menghadapi permasalahan dalam hidupnya dengan positif, serta tidak terbuka pada pengalaman baru.
2. Kontrol impuls
Kontrol impuls sangat terkait dengan regulasi emosi. Individu yang memiliki kontrol impuls yang tinggi akan memiliki regulasi emosi yang tinggi pula. Ketika seseorang tidak mampu mengkontrol impuls, ia akan menerima belief yang pertama kali muncul pada dirinya tanpa mempertimbangkan hal lainnya. Akibatnya ia akan percaya setiap kejadian negatif dan berlaku sesuai dengan belief-nya. Individu yang memiliki kontrol impuls dapat menahan dan mengevaluasi kejadian negatif yang menimpanya dan berpikir secara rasional. Ia tidak akan terjebak dan menerima kejadian negatif secara cuma-cuma.
3. Optimisme
Individu yang resilien memiliki karakteristik optimistik. Mereka percaya bahwa setiap hal yang terjadi dapat berubah menjadi lebih baik. Mereka memiliki harapan pada masa depan dan percaya bahwa mereka memiliki kontrol akan kehidupannya. Individu yang optimis memiliki kesehatan mental yang baik, kualitas kerja yang lebih baik dan outcome yang lebih positif.
Optimisme berarti percaya bahwa individu mampu untuk menanggulangi dan melewati tekanan atau permasalahan yang sedang dihadapi saat ini maupun masa depan. Secara tidak langsung, individu yang optimis memiliki self efficacy yang baik dimana ia memiliki keyakinan bahwa ia mampu mengatasi kesulitan-kesulitannya. Dengan begitu, individu tersebut termotivasi untuk mencari solusi terbaik dari permasalahannya dan memiliki problem solving yang baik.
4. Causal analysis
Causal analysis merupakan kemampuan seseorang untuk secara akurat mengidentifikasi penyebab dari permasalahan yang menimpanya. Dengan begitu ia tidak akan terlibat dan terjerumus pada permasalahan yang sama dilain waktu. Seligman mengidentifikasi pola berfikir ini dengan istilah explanatory style. Explanatory style merupakan suatu kebiasaan bagaimana seseorang menjelaskan kejadian positif dan negatif yang menimpanya.
Menurut Seligman explanatory style seseorang dibagi menjadi 3 dimensi pola berfikir; personal (me-not me), permanen (always-not always), pervasif (everything-not everything). Individu dengan pola berpikir “me, always, everything”, secara otomatis percaya bahwa ia adalah penyebab dari setiap masalah (me), permasalahannya tidak dapat dirubah (always) serta akan mempengaruhi segala aspek kehidupannya (everything).
Individu dengan pola berpikir “me, always, everything” akan merasa tidak berdaya dan tidak dapat melihat kemungkinan-kemungkinan untuk melakukan problem solving secara tepat. Sebaliknya, individu dengan pola pikir “not always, not everything” mampu untuk mencari solusi-solusi terbaik akan permasalahannya. Namun, individu yang resilien biasanya dapat berlaku fleksible dan tidak terpaku pada explanatory style tertentu. Ia mampu melihat kenyataan secara objektif, tidak menyalahkan orang lain, dan tidak terjebak dalam perasaan bersalah.
5. Empati
Kemampuan empati merupakan kemampuan untuk melihat dan mengetahui kondisi emosional dan psikologis orang lain. Hal ini termasuk mampu untuk melihat dan mengerti pesan non verbal, ekspresi nada suara dan gerakan tubuh dari orang lain. Individu yang tidak memiliki kemampuan ini tidak dapat menempatkan dirinya pada orang lain dan memprediksi apa yang dirasakan oleh orang lain. Hal ini dapat berakibat negatif karena kemajuan seseorang sangat bergantung pada orang lain. Individu yang tidak mampu berempati akan terus terjebak pada karakternya yang tidak resilien karena ia tidak berusaha untuk mencoba meningkatkan diri dengan memahami orang lain.
6. Self Efficacy
Self efficacy merupakan keyakinan dan kepercayaan bahwa seseorang mampu untuk menyelesaikan masalah dan berhasil. Individu yang memiliki self efficacy tinggi memiliki kepercayaan diri untuk mengatasi berbagai permasalahan yang menimpanya. Sedangkan individu dengan self efficacy yang rendah tidak mampu mencari solusi yang terbaik dari dirinya sendiri maupun orang lain. Pada akhirnya mereka selalu akan merasa ragu pada dirinya dan tidak mampu untuk bangkit dari permasalahannya.
7. Reaching out
Reaching out merupakan kemampuan dan keberanian untuk menerobos dan menggapai hal yang dianggap tidak memungkinkan. Sebagian besar individu tidak mampu melakukan reaching out karena disebabkan oleh kebiasaan sejak masih kanak-kanak untuk menghindari hal-hal yang dianggap memalukan. Sebagian besar individu memilih untuk tetap pada dirinya saat ini karena merasa takut akan penilaian dari orang lain atau akan gagal.
Individu yang mampu melakukan reaching out, dapat memaksakan dirinya dan berjuang sampai batas kemampuannya. Sebaliknya, individu yang tidak mampu melakukan reaching out akan menentukan batasan-batasan pada dirinya. Mereka memiliki pola pikir lebih baik gagal dengan mengetahui bahwa mereka belum berusaha semampunya daripada mengetahui kenyataan bahwa mereka memang tidak mampu.
Pada dasarnya setiap individu memiliki sisi positif, kekuatan dalam diri dan potensi untuk menjadi resilien, hanya saja tidak semua individu menyadari, mampu mengembangkan dan memanfaatkan potensi tersebut dengan baik.
Be Resilient and Keep Enjoying Your Life!
Regards,
2 komentar:
bgus jg blog n postingny...
yang simptom patologis itu sumbernya darimana ya?
Posting Komentar